Kamis, 20 Mei 2010

REVITALISASI SDM DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN PADA PASCA KRISIS

Pengantar
Sukses suatu organisasi sangat ditentukan oleh kemampuan organisasi itu untuk beradapatasi pada perubahan lingkungan strategik yang mempengaruhi kehidupan organisasi. Organisasi yang terus beradaptasi dengan perubahan yang terjadi akan dapat tumbuh dan berkembang. Sebaliknya organisasi yang tidak beradaptasi dengan perubahan lingkungan strategik akan mengalamim kemunduran.
Oleh sebab itu sangat perlu bagi organisasi untuk memahami perubahan lingkungan strategik tersebut. Perubahan lingkungan strategik menuntut adanya perubahan paradigma di dalam mengelola organisasi. Ahli pengembangan SDM dan organisasi yang berkecimpung di dalam pengelolaan perusahaan, harus memahami pergeseran paradigma bisnis agar supaya di dalam memberikan pelayanan kepada organisasi tempat dia bekerja dapat mengambil tindakan yang tepat.
Perubahan Lingkungan Strategik
Lingkungan strategik yang mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya organisasi antara lain adalah seperti berikut.
Persaingan Global
Globalisasi telah membuat batas antar negara semakin kabur. Perlindungan terhadap produk dalam negeri melalaui proses monopoli kini semakin ditentang oleg dunia internasional. Perjanjian perdagangan bebasa seperti Asean Free Trade Area (AFTA), kesepakatan pasar bebas dunia melalui General Agreemenet on Tariffs and Trade (GATT) menentang proteksi yang diberlakukan oleh suatu negara atas intervensi pasar oleh negara lain. Setelah diberlakukannya perjanjian tersebut maka suatu unit pemerintahan di suatu negara akan mendapat tekanan yang semakin keras dari negara lain.
Lingkungan Sosial
Perubahan masyarakat akibat globalisasi telah menyebabkan karyawan suatu unit pemerintahan menuntut perlakuan yang lebih baik. Hak-hak azazi manusia yang sebelumnya kurang diperhatikan oleh pihak organisasi kini samakin dituntut. (karyawan golongan paling rendah, penghasilannya seringkali berada di bawah upah minimum regional ). Demikian pula dengan kesadaran masyarakat akan pelayanan pada masyarakat telah membuat organisasi harus lebih berhati-hati dalam memberikan pelayanan.
Lingkungan Politik
Kondisi politik di suatu negara sangat mempengaruhi pertumbuhan bisnis. Suatu negara yang situasi politiknya agak kacau menyebabkan para investor asing takut menanamkan modal di wilayah tersebut. Kekacauan politik yang menimbulkan kerusuhan sosial akan mematikan usaha bisnis. Pengalaman kerusuhan politik di Indonesia telah menyebabkan banyak pemodal melarikan modal mereka ke luar negeri. Selain itu perusakan pabrik dan alat-alat kerja telah menyebabkan banyak pabrik tutup.
Perubahan Undang-Undang
Banyak sekalai peraturan-peraturan baru yang muncul dalam berbagai aspek operasi organisasi. Misalnya kehadiran UU no.25 tahun 1998 tentang serikat sekerja menyebabkan organisasi semakin sulit untuk mengelola karyawan. Kalau semula organisasi perusahaan hanya memiliki satu organisasi karyawan (SPSI), kini karyawan memiliki peluang untuk bergabung pada banyak serikat sekerja seperti itu, atau mungkin membuat organisasi baru.
Lingkungan Teknologi
Kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi, telah merubah secara mendasar cara pengelolaan organisai. Kehadiran komputer dengan tingkat kecanggihan yang semakin meningkat menyebakan semakin banyak pekerjaan diganti oleh komputer. Selain itu kegiatan organsasi semakin diwarnai oleh persaingan kecepatan waktu (real-time). Penggunaan internet, web-site, lokal area network (LAN) semakin marak dalam dunia organisasi. Organisasi harus berpacu untuk mengikuti perkembangan teknologi. Kalau tidak demikian dia akan ketinggalan.
Pergeseran Paradigma Organisasi
Perubahan lingkungan strategik dalam berbagai dimensi memerlukan adanya penyesuaian cara pikir dan cara pandang pengelolaan organisasi. Pola pikir dan pola pandang ini secara populer disebut dengan istilah paradigma.
Banyak pakar yang mengajukan gagasan tentang pergeseran paradigma organisasi. Beberapa pergeseran paradigma tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Stabilitas-prediktabilitas bergeser menjadi Perubahan yang tidak menentu
Kalau pada abad ke 20 pandangan tentang dunia mengacu pada asumsi bahwa segala sesuatu dimuka bumi ini bersifat stabil dan bisa diprediksi, kini pandangan demikian sudah ditinggalkan. Pada abad ake 21 asumsi yang dipegang adalah bahwa perubahan tidak bisa di prediksikan, dan perubahan bersifat tidak beraturan.
Pada awal tahun delapan puluhan banyak buku yang menyusun prediksi masa depan. Misalnya John Naisbitt dan Patricia Aburdene memprediksi bahwa pada milenium ke tiga pusat perdaganga dunia akan bergeser ke Asia dengan alasan jumlah penduduk yang besar, dan tingkat pertumbuhan ekonomi negara Asia sekitar 5-7 persen pertahun. Ramalan ini ternyata meleset. Di penghujung tahun 1997 ekonomi berbagai negara Asia (Indonesia, Korea, Filipina, Thailand, dan Malaysia) jatuh tersungkur mendekati nol atau bahkan beberapa negara mengalami krisi ekonomi yang berat.
Kalau mengambil tamsil orang berlayar, kondisi bisnis pada abad ke 20 seperti orang yang berlayar di sungai yang tenang yang segala sesuatunya bisa diprediksi; memasuki abad ke 21 orang memasuki arus arung jeram yang tidak bisa diprediksi situasinya. Kapan ada batu besar di depan, ada arus pusar, ada air terjun semua tidak bisa diprediksi.
2. Berfokus pada Ukuran dan Skala yang Besar bergeser menjadi fokus pada “Kecepatan dan daya reaksi”
Organisasi di abad ke 20 umumnya menekankan pentingnya kekuatan organisasi melalui organisasi yang berskala besar dan struktur organisasi dan jumlah karyawan yang besar. Organisasi menjadi sangat besar mirip seekor dinosaurus yang berkepala kecil tetapi berbadan besar. Akibatnya orgnaisasi menanggung biaya yang besar dan sangat lambat di dalam mengambil keputusan. Organisasi yang besar akan tidak lincah dan akhirnya akan punah seperti punahnya dinosaurus. Pada abad ke 21 organisasi semakin mengecil tetapi memiliki kecepatan reaksi yang tinggi. Perusahan besar dikecilkan ukurannya dengan mengurangi jumlah hirarkhi (layer) dengan penciutan (down-sizing). Kini struktur organisasi semakin ramping dan mendatar.
3. Kepemimpinan dari atas > Kepemimpinan dari seluruh penjuru.
Oreganisasi saat ini berada dalam situasi perubahan yang super cepat. Kondisi yang demikian tidak berbeda dengan kondisi sekumpulan orang yang berlayar mengarungi arung jeram. Kondisi ini sangat berbeda dengan kondisi orang yang berlayar di permukaan sungai yang tenang. Kalau kita berlayar di sungai yang tenang banyak hal yang bisa diantisipasi dengan mudah. Tapi begitu kita berada di arung jeram, hampir semua hal sulit untuk diprediksi (kapan ada batu besar, arus pusar dll). Demikian pula perahu karet yang ditumpangi bisa berubah yang tadinya dimuka bisa tiba-tiba menghadap ke belakang.
Dalam kondisi ysng demikian ini setiap penumpang dalam kapal harus siap memegang tugas sebagai pemimpin. Oleh karena itu setiap karyawan yang berada dalam organisasi pada masa sekarang harus memiliki kompetensi sebagai pemimpin.
4. Kekakuan Organisasi > Kelenturan yang permanen
Struktur organisasi sangat menentukan perilaku karyawan. Struktur organisasi yang sangat kaku dan birokratik akan menghambat tumbuhnya kreativitas karyawan. Selain itu pengambilan keputusan menjadi sangat lamban, dan komunikasi antar unit organisasi menjadi berkurang. Organisasi yang kaku dan terkotak-kotak seringkali menimbulkan pemborosan, karena sumberdaya (sumberdaya manusia dan, fasilitas) tidak dipakai bersama-sama. Organisasi yang demikian akan sulit untuk mampu memberikan pelayanan yang cepat, efisien dan berkualitas.
Untuk memperoleh kelincahan organisasi (cepat dalam pengambilan keputusan, cepat di dalam berbagi informasi (information sharing), dan berkembangnya inovasi, orgnaisasi harus dibuat sefleksibel mungkin. Salah sartu model organisasi yang fleksibel adalah organisasi yang batas antar kotak tidak kaku. Organisasi yang demikian disebut dengan : cross-functional organization atau boundaryless organization.
5. Pengawasan melalui peraturan dan Hirarki > Pengawasan oleh Visi dan Nilai
Dalam organisasi yang birokratik, pengawasan dilakukan menurut jenjang hirarki dalam perusahaan dengan dasar peraturan yang sangat jelas dalam hal wewenang masing-masing orang. Kondisi yang demikian ini akan banyak membatasi ruang gerak untuk melakukan kreativitas dan inovasi. Organisasi yang mampu beradaptasi dengan perubahan adalah organisasi yang digiring oleh visi, misi dan values (nilai-nilai). Bila mana peraturan yang ada, dan hirarkhi yang ada mengganggu pencapaian visi dan misi, seharusnya peraturan dan hirarki yang ada disesuaikan dengan kebutuhan.
6. Informasi disembunyikan > Informasi disebarluaskan.
Organisasi sama halnya dengan manusia. Makin pintar seorang manusia, maka makin banyak informasi yang dimilikinya. Demikian pula dengan organisasi semakin banyak pengetahuan yang dimiliki oleh organisasi (melalui penguasaan informasi oleh seluruh karyawan) maka semakin cerdaslah organisasi tersebut (intelligent organization). Organisasi yang cerdas akan cepat beradaptasi dengan tepat pada tuntutan perubahan lingkungan. Organisasi yang cerdas akan menekan secara optimal kesalahan kerja. Organisasi yang cerdas akan banyak menghasilkan inovasi. Inovasi adalah kekuatan suatu organisasi dalam mengungguli organisasi yang lain.
Organisasi yang cerdas sangat cepat di dalam berbagi dan menyebarluaskan informasi tentang sesuatu sukses (success stories) dan cerita kegagalan (lesson learned). Kondisi ini sangat berbeda dengan paradigma lama yang di anut oleh organisasi. Dalam paradigma lama informasi harus ditutup rapat-rapat orang lain tidak boleh tahu.
7. Kebutuhan akan kepastian > toleransi pada ketidakpastian
Dunia ini penuh dengan perubahan. Perubahan ini seringkali menyebabkan kondisi perusahaan harus pula dirubah. Agar supaya pengambilan keputusan cepat banyak perusahaan yang melakukan perubahan struktur organisasi (yang tinggi strukturnya menuju struktur yang datar). Pada kondisi yang lain organisasi bergabung dalam suatu merger. Perubahan struktur seringkali mengakibatkan pengurangan jumlah karyawan. Selain itu perubahan tersebut menyebabkan karyawan harus cepat menyesuaikan diri dengan perubahan yang cepat tersebut.
Pada kondisi perubahan yang cepat setiap karyawan harus terbiasa dengan perubahan. Mereka harus memiliki sifat bersahabat dengan perubahan (change friendly mindset).
Untuk survive dalam kondisi demikian setiap karyawan harus rajin belajar hal-hal baru. Kompetensi yang hanya satu jenis saja tidak cukup. Karyawan harus memiliki kompetensi tambahan agar mereka siap menerima tugas baru. Pengelolaan SDM dalam kondisi demikian biasanya menuntut adanya rotasi karyawan dari suatu pekerjaan dengan kompetensi tertentu ke pekerjaan yang lain dengan kompetensi yang lain pula.
8. Sifat Reaktif,dan menghindari resiko > Proaktif dan berwawasan kewirausahaan
Organisasi yang tidak berfikir ke depan biasanya tidak setiap menghadapi perubahan. Bila organisasi hanya bersifat reaktif atas perubahan, bukan bersifat antisipatif maka organisasi demikian akan cepat mati. Kelangsungan hidup suatu organisasi sangat tergantung pada kemampuannya untuk mengantisipasi apa yang akan terjadi di depan. Keberanian mengambil resiko adalah ciri seorang wirausahawan yang sukses. Mereka cepat mengambil peluang dan meninggalkan cara kerja lama. Organisasi yang sangat birokratik dan konvensional biasanya kurang berani mengambil resiko akibat perubahan. Akibatnya mereka tidak berbuat apa-apa sampai malapetaka perubahan menghampiri mereka.
9. Kemandirian dalam kegaiatan organisasi > Saling ketergantungan dalam kegiatan
Banyak organisasi yang memperkuat dirinya dengan membangun segala macam kegiatan beserta unit pelaksananya. Akibatnya organisasi menjadi sangat besar seperti seekor dinosaurus yang sangat lamban geraknya.
Mungkin akan lebih efektif dan efisien kalau suatu unit organisasi bekerja sama dengan unit organisasi lainnya. Kerjsama ini populer disebut dengan istilah ‘aliansi strategik’ yang sama –sama menguntungkan.
10. Integrasi bersifat vertikal > Integrasi bersifat virtual (maya)
Sebelum kedatangan sistim informasi yang canggih (computer based technology) banyak oraganisasi yang membangun kantor besar dan menempatkan karyawan dalam kantor besar tersebut agar mudah mengelolanya dalam hubungan kerja yang sifatnya vertikal. Kantor pusat memberikan arahan kepada semua lapisan di bawahnya dengan pendekatan yang ‘top-down’.
Dengan kehadiran teknologi informasi (komputer) jarak secara fisik bisa dihilangkan. Karyawan bisa bekerja dari rumah, kalau hasil pekerjaan bisa dikirim pakai informasi teknologi. Demikian pula dengan pekerjaan kantor yang merupakan unit organisasi yang di bawah koordinasi suatu organisasi. Pekerjaan bisa dikirim melalui teknologi informasi.
11. Berfokus pada kondisi internal organisasi > Fokus pada daya saing di lingkungan
Banyak organisasi pemerintah kalah bersaing dalam kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan organisasi hanya berpuas dengan diri melihat pada diri sendiri, dan tidak membandingkan dengan organisasi yang lebih mampu memberikan pelayanan yang lebih baik.
Kemajuan organisasi hanya dilihat dari sejauh mana organisasi lebih baik dari tahun ke tahun. Tidak ada upaya untuk membandingkan dengan organisasi lain, apakah organisasi mereka lebih unggul dibandingkan dengan organisasi lain.
Untuk mengatasi hal demikian kini organisasi harus melakukan ‘bench-marking’ (membandingkan dirinya dengan posisi organisasi lain yang sejenis). Dengan melakukan perbandingan tersebut, organisasi akan dapat meningkatkan dirinya agar lebih unggul dalam pemberian pelayanan dibandingkan organisasi lain.
12. Kesinambungan (sustainability) sebagai keunggulan kompetitif > Invensi (penemuan, inovasi) yang terus menerus sebagai keunggulan kompetitif.
Keunggulan suatu organisasi dibandingkan dengan organisasi lainnya sangat tergantung apakah organisasi itu lebih bisa melakukan inovasi. Kalau dahulu organisasi hanya berfokus pada apakah bisa bertahan dalam pemberian pelayanan apa adanya (sustainability). Dalam kondisi masyarakat yang semakin bergejolak, kemampuan untuk bertahan saja tidak cukup. Organisasi harus mempu membangun keunggulan kompetitif melalui berbagai inovasi yang memberikan nilai tambah.
Kompetensi SDM Pasca Krisis
Berdasarkan asumsi yang dikemukan di atas maka suatu unit organisasi harus memiliki karyawan yang sevara terus menerus mengembangan empat jenis modal manusia (human capital) yakni modal intelektual (intellectual capital), modal sosial (social capital), modal mental (soft capital), dan modal agama (spiritual capital).
Kiat suskses meniti karir sangat dipengaruhi kemampuan mengembangkan keempat jenis modal manusia tersebut.

Modal intelektual
Modal intelektual adalah perangkat yang diperlukan untuk menemukaan peluang dan mengelola ancaman dalam kehidupan. Banyak pakar yang mengatakan bahwa modal intelektual sangat besar peranannya di dalam menambah nilai suatu kegiatan. Berbagai perusahaan yang unggul dan meraih banyak keuntungan adalah perusahaan yang terus menerus mengembangkan sumberdaya manusianya (lihat Ross, dkk, 1997).
Manusia harus memiliki sifat proaktif dan inovatif untuk mengelola perubahan lingkungan kehidupan (ekonomi, sosial, politik, teknologi, hukum dll) yang sangat tinggi kecepatannya. Mereka yang tidak beradaptasi pada perubahan yang super cepat ini akan dilanda kesulitan. Pada saat ini manusia, organisasi, atau negara tidak lagi berlayar di sungai yang tenang yang segala sesuatunya bisa diprediksi dengan tepat. Kini sungai yang dilayari adalah sebuah arung jeram yang ketidakpastian jalannya perahu semakin tidak bisa diprediksi karena begitu banyaknya rintangan yang tidak terduga. Dalam kondisi yang ditandai oleh perubahan yang super cepat manusia harus terus memperluas dan mempertajam pengetahuannya. dan mengembangkaan kretifitasnya untuk berinovasi.
Manajemen perusahaan sebagai pimpinan puncak organisasi yang bertanggungjawab di dalam pengembangan SDM harus mampu membangun suatu organisasi pembelajaran (learning organization). Hal ini baru terjadi bila seluruh jajaran kepemimpinan mulai dari lini atas sampai ke lini bawah berusaha secara serius untuk menanamkan kesadaran guna menambah pengetahuan baik pada dirinya sendiri, atau pada seluruh karyawan dalam perusahaan. Para karyawan tidak boleh puas dengan apa yang sudah dicapainya secara akademik. Pekerjaaan membangun modal intelektual adalah pekerjaan yang tiada akhir, karena ilmu yang kita miliki akan mudah sekali ketinggalan zaman. Kita akan menjadi penyebab kemunduran perusahaan bila wawasan pengetahuan yang kita miliki tidak sesuai dengan tuntutan perubahan. Untuk mengatasi hal-hal yang demikian suasana pembelajaran di perusahaan harus ditumbuhkan melalui berbagai forum , antara lain seminar ilmiah, diskusi pembahasan konsep baru, harus menjadi kebiasaan sehari-hari di perusahaan. Dengan melakukan saling tukar informasi dan wawasan yang melibatkan seluruh karyawan melalui forum tersebut akan semakin berkembang modal intelektual. Apa yang disarankan para pakar tersebut sudah jauh-jauh hari ditulis dalam kitab suci berbagai agama.

Modal Sosial
Intelektual modal baru akan tumbuh bila masing-masing orang berbagi wawasan. Untuk dapat berbagi wawasan orang harus membangun jaringan hubungan sosial dengan orang lainnya. Kemampuan membangun jaringan sosial inilah yang disebut dengan modal sosial. Semakin luas pergaulan seseorang dan semakin luas jaringan hubungan sosial (social networking) semakin tinggi nilai seseorang.
Modal Sosial dimanifestasikan pula dalam kemampuan untuk bisa hidup dalam perbedaan dan menghargai perbedaan (diversity). Pengakuan dan penghargaan atas perbedaan adalah suatu syarat tumbuhnya kreativitas dan sinergi. Kemampuan bergaul dengan orang yang berbeda, dan menghargai dan memanfaatkan secara bersama perbedaan tersebut akan memberikan kebaikan buat semua. Dalam ajaran setiap manusia diminta membangun silaturahmi. Karena silaturahmi akan memberikan kebaikan. Ide kreatif seringkali muncul melalui diskusi. Demikian pula peluang bisnis seringkali terbuka karena adanya jaringan hubungan silaturahmi. Perintah tentang membangun modal sosial ini sangat dianjurkan oleh agama.
Untuk menumbuhkan modal sosial pada karyawan diperlukan berbagai pelatihan dan workshop. Misalnya pelatihan untuk menumbuhkan ‘social skill’, pelatihan untuk menjadi manusia efektif seperti paket Seven Habits of Highly Effective People yang sekarang ini sangat pupuler di berbagai negara. Berbagai ilmu di bidang hubungan antar manusia (human relations) telah memberikan jalan bagaimana manusia harus berinteraksi dalam suatu kebersamaan yang saing menguntungkan .

Modal mental (soft capital)
Modal agama yang oleh Hartanto (1998) disebut dengan “soft capital” adalah modal yang diperlukan untuk menumbuhkan modal sosial dan modal intelektual. Sifat bisa dipercaya dan percaya pada orang lain (trust), bisa menahan emosi, pemaaf, penyabar, ikhlas, dan selalu ingin menyenangkan orang lain sangat diperlukan bagi upaya untuk membangun masyarakat yang beradab dan berkinerja tinggi.
Berdasarkan analisis terdahulu ekonomi baru dimilenium ketiga akan diwarnai oleh banyaknya konflik yang terjadi (discordance). Orang semakin tidak bisa melihat orang lain sebagai bagian dari sukses dirinya sendiri. Konflik antar kelompok kaya dan miskin, kelompok berpengetahuan tinggi dan berpengetahuan rendah, kelompok yang memiliki akses pada kekuasaan dan yang tidak memiliki akses pada kekuasaan diduga akan meningkat intensitasnya. Soft capital ini akan menjadi perekat sosial dan peredam emosi yang dapat menekan munculnya konflik dan kekerasan.
Beberapa tahun terakhir ini makin banyak pembicaraan tentang pentingnya peranan inteligensi emosional (emotional intelligence) di dalam menunjang kesuksesan hidup manusia (Goleman, 1996). Apa yang ditulis oleh Daniel Goleman tersebut sangat sesuai dengan ajaran berbagai agama.
Upaya untuk menumbuhkan modal lembut ini bisa melalui pengajian agama, pelatihan ‘social skill’, pelatihan inteligensi emosisonal, atau paket Seven Habits of Highly Effective People. Saya rasa sudah saatnya lembaga pendidikan tinggi mewajibkan mahasiswanya untuk mengikuti paket pengembangan kepribadian seperti itu. Karena sifatnya sangat praktis dan segera terasa manfaatnya InsyaAllah kegiatan ini akan sangat menarik, dan jauh lebih berguna dibandingkan penataran P-4 yang sarat dengan muatan politik yang mendukung kekuasaan penguasa.

Modal agama
Bagi orang yang beagama ketiga modal yang dibicarakan di atas adalah bagian dari ekspresi modal spiritual. Semakin tinggi iman dan takwa seseorang semakin tinggi pula ke tiga modal di atas. Namun demikian banyak akademisi yang menyarankan agar modal spiritual dipisahkan dari ketiga modal di atas, dengan tujuan untuk semakin menekankan betapa pentingnya upaya pengembangan keberagamaan manusia.
Di mata para akademisi yang berpandangan demikian, agama akan menjadi pembimbing kehidupan agar tidak menjadi egostik yang orientasinya hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Oleh karena itu uapaya untuk mengembangkan keagamaan adalah bagian mutlak dan utama bagi tumbuhnya masyarakat yang makmur dan sejahtera serta aman dan damai.

Penutup
Masih banyak hal-hal penting lainnya yang belum bisa diajukan dalam makalah singkat ini. Saya yakin peserta workshop hari ini akan memperkaya wawasan kita pada merevitalisasi SDM. Semoga tulisan pendek yang tidak sistimatik ini dapat dijadikan acuan dalam berdiskusi pada hari ini.

Selasa, 20 April 2010

BANGSA YANG TIDAK GEMAR MEMBACA

HANYA sedikit kota di Indonesia yang memiliki perpustakaan. Di kota besar lebih parah lagi, hkarena ampir semua areal dikepung pusat bisnis maupun perkantoran. Tidak ada ruang untuk perpustakaan yang dapat mencerdaskan bangsa.
Kondisi itu diperparah dengan mahalnya harga buku. Seakan buku bacaan hanya untuk mereka yang berduit. Rakyat miskin nanti dulu. Maka, proses pembodohan massal pun terjadi. Dampak dari mahalnya buku dan sedikitnya kesadaran untuk membangun perpustakaan, membuat minat baca di Indonesia semakin minim. Minimnya tingkat baca pada akhirnya berjabatan erat dengan minimnya kemampuan baca.
Pada 1992 Internasional Associations for Evaluation of Educational (IEA) membuat studi di 30 negara tentang kemampuan membaca anak-anak SD. Hasilnya Indonesia menduduki urutan ke-29.
Laporan World Bank menyebutkan kemampuan membaca anak SD di Indonesia di bawah negara Asia lainnya.
Data itu bisa dijabarkan lebih jauh lewat dunia penerbitan buku. Indonesia mampu menerbitkan 12 ribu judul buku dalam satu tahun. Dengan asumsi setiap judul dicetak 3.000 eksemplar (rata-rata memang demikian). Maka dalam satu tahun ada sekitar 36 juta buku.
Lalu, bagi rata saja dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 240 juta. Hasilnya angka 6,6 atau jika dibulatkan menjadi 7. Itu berarti 1 buku dibaca 7 orang dalam satu tahun.
Peran pemerintah
Apa sebenarnya yang terjadi? Menurut penulis selain masalah kebijakan, para pejabat juga menjadi contoh yang kurang memotivasi.
Coba datang ke rumah salah satu petinggi, hampir bisa dipastikan ruang tamunya penuh hiasan atau pajangan hasil plesiran ke luar negeri, potret keluarga dan piagam penghargaan.
Berbeda dengan petinggi dan para tokoh di zaman Orde Lama, Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, atau pun Tan Malaka. Dalam aneka biografi selalu disebutkan buku-buku terserak di setiap ruangan.
Pemimpin di zaman dahulu memberikan teladan kepada rakyatnya untuk gemar membaca. Bung Karno gemar membaca sampai ke-toiletpun ia membawa buku. Bung Hatta jika kembali lawatan dari luar negeri membawa berpeti-peti buku. Maka, tidak mengherankan jika prilaku membaca rakyat pun kian menyurut.
kecilnya aktivitas membaca di Indonesia juga nampak dari eksemplar surat kabar. Tiras surat kabar yang paling terkenal tidak mencapai 10 persen dari jumlah penduduk Indonesia.
Anak Indonesia sedikit yang memiliki minat baca. Kalaupun ada lebih senang membaca komik atau majalah selebritas. Lebih tertarik tabloid bernuansa gosip yang terbukti laku keras ketimbang bacaan berunsur pengetahuan dan karya sastra.
Padahal anak-anak di negeri tetangga seperti Singapura atau Malaysia gemar membaca buku berbobot. Jangan heran jika melihat pelajar antre beli tiket bioskop sambil membaca buku karya Profesor Stephen Hawkins. Di dalam bus mereka asyik membaca buku sastra.
Tugas menumbuhkan minat baca yang utama ada pada Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Tugas yang berat karena angkatan muda yang tak gemar membaca akan menjadi lemah dan tidak berdaya saing.
Untuk mengatasi ini, barangkali pemerintah harus gencar mendirikan perpustakaan disetiap kelurahan. Juga rajin mencetak buku-buku murah hingga terjangkau kantong rakyat.
Peran masyarakat
Setiap perbuatan pasti memiliki akibat. Malas membaca mengakibatkan sebuah bangsa miskin pengetahuan dan kurang kreatifitas. Masyarakatnya jadi berwawasan sempit, gampang diperdaya, kurang memiliki daya analisa kritis terhadap persoalan hingga rapuh dalam kepribadiaan.
Sekarang kita lebih menyukai budaya lisan. Padahal budaya lisan memiliki keterbatasan, karena hanya melihat sesuatu dari kulit, kurang mendalam.
Beda dengan budaya Literer (budaya baca). Orang literer mampu melihat dan berpikir abstrak, melihat substansi peristiwa, cakap membuat kesimpulan dan cendrung tidak gegabah.
Kurang membaca jelas mengakibatkan kurangnya pengetahuan. Kurang pengetahuan membuat masyarakat bertindak tanpa pikir panjang dan mudah terhasut. Main hakim sendiri dan mudah mengambil jalan pintas saat menemui kendala dalam hidup hanya dua dari sekian banyak hal yang secara tidak langsung dipengaruhi kurangnya minat baca.
Karena itu, penulis berharap sebagian masyarakat yang sudah memahami pentingnya menumbuhkan minat baca ikut berpartisipasi. Bisa dimulai dari bagaimana menumbuhkan minat baca di lingkungan terdekat.
Peran keluarga juga sangat penting. Orangtua sudah seharusnya memberi teladan dan juga menciptakan iklim di rumah yang bisa membuat anak-anak termotivasi membaca.
1 Maret 2010
Kategori: ARTIKEL
“PERKEMBANGAN BEHAVIORAL ACCOUNTING”

Background
Akuntansi yang kita kenal selama ini telah mengalami metamorfose yang panjang, dengan seperangkat dan tahapan rekonstruksi sebagai sebuah social science yang legitimate dengan kemampuannya memberi kemanfataan bagi praksis business di dunia. Paling tidak melibatkan tiga riset besar, sehingga akuntansi dapat mendudukkan dirinya berdampingan praksis business seperti sekarang ini. Mekipun tidak ada catatan yang dapat digunakan untuk menunjukkan secara langsung kapan akuntansi mulai dipraktikkan, bisa diperkirakan bahwa akuntansi telah digunakan sejak zaman sebelum masehi (SM). Berbarengan dengan berkembangnya peradaban manusia, pencatatan, pengiktisaran, dan pelaporan (propses akuntansi) telah menjadi bagian proses akuntansi yang melembaga.
Beberapa bukti empiris, dapat dijadikan rujukan dan runutan sejarah tentang perkembangan akuntansi (asal-muasal), seperti sejarah bangsa Aztec dan Inca di pedalaman Amerika, bangsa Dravida di Dataran Asia Selaytan, bangsa Cina dan Jepang dikawasan Asia Timur, bangsa Sumeria, Mesir Kuno, dan mesopotamia didataran Arab, bangsa Yunani dan Romawi di benua Eropa, merupakan yang telah maju kuno yang telah mempraktikkan kristalisasi akuntansi dengan berbagai variasi kesederhanaanya (Ikhsan & Ishak, 2005). Sejumlah bukti empiris yang berbentuk manuskrip-manuskrip yang ditemukan di goa-goa prasejarah telah tersebut menunjukkan bahwa manusia di zaman itu telah mengenal adanya hitung menghitung meski dengan bentuk variasi kesederhanaanya.
Keberadaan akuntansi yang kita kita kenal selama ini, oleh banyak kalangan lebih didudukkan sebagai satu metode pencatatan yang akan menghasilkan media pertanggungjawaban yang selanjutnya disebut laporan keuangan. Melihat posisi tersebut, maka lambat laun akuntansi benar-benar akan terjadi reduksi nilai dan hanya berupa hamparan angka-angka yang memaparkan kekayaan dan kinerja perushaan. Wajar, manakala banyak kalangan memberi kritik bahwa akuntansi bukan merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang dapat memberikan banyak manfaat. Bahkan dampak dari interpretasi yang mendudukkan akuntansi seperti tersebut diatas, akuntansi hanya sebagai alat legitimasi sistem ekonomi dimana akuntansi diberlakukan. Jika hanya sebatas itu, maka peran dan fungsi akuntansi menjadi dis-legitimasi manakala sistem ekonomi yang ditopangnya mengalami illigitimasi, dan bahkan the dead of accounting akan muncul, karena peran dan fungsi akuntansi akan diganti oleh perkembangan tehnologi informasi seperti komputerisasi.
Kenyataan ternyata menunjukkan kondisi yang tidak membenarkan proyeksi banyak kalangan. Ilmuan dibidang akuntansi, telah memberikan bukti lewat perkembangan ilmu akuntansi yang bersifat terbuka (open ended) dalam bentuk keterbukaan dalam berkolaborasi dengan disiplin ilmu lain, seperti masukanya teori-teori sosial dan eksak dalam perkembangan akuntansi.
Akuntansi yang merupakan satu sistem dan prosedur yang menghasilkan laporan keuangan dimaksudkan untuk membantu para pemakai pengambilan keputusan, ternyata mengandung seperangkat essensi behavioral dan syarat dengan muatan integrasi dengan berbagai ilmu (teori) sosial lainnya. Tujuan tersebut tak lain adalah memberi petunjuk dan mempengaruhi para pengguna dalam memilih tindakan yang paling baik untuk mengalihasikan sumberdaya yang langka pada aktivitas bisnis (Ikhsan & Ishak, 2005). Perlu diketahui bahwa dalam penetapan keputusan (decission making) sudah barang pasti akan melibatkan jugdment yang potret keseluruhannya akan mengaktifkan aspek-aspek keperilakuan dari para pengambil keputusan maupun pembuat laporan akuntansi. Dengan kata lain, akuntansi tidak akan dapat dilepas keperilakukan manusia dan tidak bersifat statis melainkan akan berkembang sejalan perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan.
Jika hal seperti adanya, pertanyaan yang muncul adalah apa dan bagaimana tipologi akuntasi keperlakuan, bagaimana adopsi sistemik teori-teori sosial lain masuk kedalam akuntansi dan sejauhmana nilai aksiologis dari akuntansi keperilakukan dalam membantu praksis bisnis.

Variabilitas Landasan Epistimologi dalam Riset Dibidang Akuntansi
Penelitian ilmiah merupakan satu motor inti dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Sementara, diskusi tentang ilmu pengetahuan tak dapat dilepaskan dengan posisi teori yang merupakan reduksi fenomena lapangan yang universal. Sehingga, posisi teori akan memudahkan dalam memahami dan memprediksi fenomena. Dengan demikian, dalam teori yang merupakan produk ilmu pengetahuan mengakui eksistensi (atau dibangun) atas dasar asumsi-asumsi yang merupakan upaya meniadakan sekian kondisi yang melingkupi gejala alam. Melihat konteks seperti, dimana teori merupakan satu produk keilmuan, berarti suatu pengetahuan (knowledge) dibangun atas dasar asumsi-asumsi filosofis tertentu yang mendasarinya.
Menurut Burrel dan Morgan (1979), asumsi-asumsi yang mendasari atas terbangunya suatu pengetahuan (knnowledge) adalah ontologi (ontology), epistimologi (epistimology), hakikat manusia dan metodologi (methodology). Ontologi, merupakan cabang filsafat yang berhubungan dengan hakikat atau sifat dari realitas atau objek yang diinvestigasi. Epistimologi, merupakan cabang filsafat yang memberi perhatian terhadap bagaimana mendapatkan serta menyebarkan ilmu pengetahuan.
Berangkat dari kerangka dasar ontologi dan epistimologi, akhirnya menghasilkan variabilitas cara pandang ilmuan dalam memperoleh kebenaran suatu ilmu pengetahuan. Dampak yang terjadi adalah munculnya berbagai paradigma riset dengan berbagai konsekwensi pertentang dan klaim antara pembenaran dan penyalahan.
Kaum Subyektifime (anti-positivism), memberikan penekanan bahwa pengetahuan bersifat sangat subyektif dan spiritual (transedental), yang didasarkan pada pengetahuan dan pandangan manusia. Hal itu sejalan dengan cara pandang pendekatan ideograpik, yang berpandangan bahwa seseorang akan dapat memahami ”dunia sosial” (social world) dan fenomena yang diinvestigasi, apabila ia dapat memperolehnya atas dasar ”pengetahuan pihak pertama” (first hand knowledge). Bebeda dengan kaum Objektivisme (positivism) yang berpandangan bahwa pengetahuan itu berada dalam bentuk yang tidak berujud (intangible), terukur dan teramati. Secara ontologis, kaum objektivism memandang bahwa relaitas merupakan sumber pengetahuan yang terlepas pada diri manusia (Burrel & Morgan, 1979). Pandangan posivisim tersebut nampaknya sejalan dengan pendekatan nomotetik yang memiliki metode yang baku dan protokoler.
Kaum Voluntarisme (voluntarism) memberikan penekanan pada essensi bahwa keberadaan manusia didunia ini adalah untuk memecahkan fenomena sosial sebagaimana mahluk yang memiliki kehendak dan pilihan bebas (free will and choice). Manusia menurut kaum voluntaris dipandang sebagai pencipta dan mempunyai perspektif untuk menciptakan fenomena sosial dengan daya kreatifitasnya (Sukoharsono dalam Ishak dan Ikhsan, 2005). Hal itu berbeda dengan sudut pandang kaum determinisme yang memandang bahwa manusia dan aktivitasnya ditentukan oleh situasi atau lingkungan dimana mereka berada. Kaum determinis menggap bahwa dirinya tidak memiliki kemampuan mengubah social world melainkan manusia memiliki kepekaan dan kemampuan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana mereka berada.
Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, Burrel dan Morgan (1979) memetakan pentehuan dalam tiga paradigma, yaitu fungsionalis-interpretif (functionalist-interpretive), radikal-humanis (radical humanist), dan raduikal strukturalis (radical structuralist).
Paradigma Fungsaionalis, sering disebut sebagai fungsionalis struktural (ctructural functionalist) atau kontinjensi rasional (rational contingency). Pradigma ini merupakan paradigma yang umum dan dominan digunakan dalam penelitian akuntansi atau paradigma utama (mainstream paradigm). Fungsionalis menganggap bahwa realitas adalah objectif berada diluar secara bebas dan terposah diliuar manusia. Realitas diukur dan dianalisis serta digambarkan secara objektif. Dengan demikian, penelitian yang menggunakan paradigma ini terjadi pemisahan secara jelas antara subjek dan objek penelitian. Berangkat cara pandang seperti itu, ilmu pengetahuan akuntansi mendudukkan metode ilmiah (scisntific methode) sebagai media pengembangan dan penemuan ilmu pengetahuan (teori). Metode penelitian kuantitatif merupakan perwujudan operasional yang cocok dengan cara pandangan paradigma fungsionalis.
Paradigma interpretif atau disebutnya juga dengan interacsionis subjektif (subjective interactionist) (Macintosh, 1994). Chua (1986) menyatakan bahwa paradigma ini berakar dari filusuf Jerman yang menitik beratkan pada peran bahasa, interpretasi, dan pemahaman dalam ilmu sosial. Burrel & Morgan (1976) berpendapat bahwa paradigma interpretif menggunakan cara pandang para nominalis yang melihgat realitas sosial sebagai sesuatu yang hanya merupakan label, nama, atau konsep yang digunakan untuk membangun realitas, dan bukanlah sesuatu yang nyata, melainkan hanyalah penamaan atas sesuatu yang diciptakan oleh manusia atau merupakan produk manusia itu sendiri. Dengan demikian, realitas sosial merupakan sesuatu yang berada pada dalam diri manusia, sehingga bersifat subjektif bukan objektif. Pada paradigma interpretif, ilmu pengathuan tidak digunakan untuk menjelaskan (to explain) melainkan untuk memahami (to understand) (Triyuwono dalam Ihsan & Ishak, 2005). Desain penelitian kualitatif merupakan bentuk metode yang cocok dengan paradigma ini. Paradigma interpretif memasukkan aliran etnometodologi dan interaksionis simbolis fenomenologi yang didasarkan pada aliran sosiologis, hermenetik, dan fenomenologis.
Paradigma strukturalisme radikal, merupakan salah satu paradigma penelitian akuntansi yang memiliki kemiripan dengan paradigma fungsionalis. Paradigma ini beranggapan bahwa sistem sosial mempunyai keberadaan ontologis yang konkret dan nyata (Machinton dalam Ihsan & Ishak, 2005). Fokus dalam paradigma ini adalah bahwa terdapat konflik mendasar pada hubungan kelas atau kelompok dan struktur pengendalian. Disamping itu, memperlakukan dunia sosial sebagai objek eksternal dan memiliki hubungan terpisah dari manusia tertentu. Umumnya riset dalam demargasi paradigma ini didasarkan pada teori Marxisme tradisional.
Paradigma humanis radikal, diwarnai oleh teori kritis dari Frankfurt School dan Habermas (Dillard dan Becker dalam Ihsan dan Ishak, 2005). Pandangan Habermas menytakan bahwa objek studi sebagai suatu interaksi sosial yang disebut ’du8nia kehidupan” (life world), yang diartikan sebagai interaksi berdasarkan pada kepentingan kebutuhan yang melekat dalam diri manusia dan membantu untuk pencapaian saling memahami (Sawarjuwono, 2002). Macintosh menyatakan bahwa humanis radikal memiliki visi praktik akuntansi yang berorentasi pada orang yang mengutamakan idealisme humanistik dan nilai-nilai dibandingkan dengan tujuan organisasi.

Kilas Balik Behavior Accounting.
Pendekatan klasik, akuntansi lebih menitik beratkan pada pola pikir normatif dan telah menguasai pemikiran akuntansi dalam satu dekade dan mengalami kejayaan pada tahun 1960-an. Baru sejak decade 1970-an akuntansi mengalami pergeseran paradigma dan pemikiran dengan munculnya berbagai riset akuntansi keperilakukan.
Satu keniscayaan yang melatarbelakangi pergeseran paradigma tersebut adalah bahwa akuntansi normatrif yang mampu bertahan dan mengalami kejayaan ternyata tidak cukup mujarab dalam menghadapi problematika praksis. Desain sistem akuntansi normatif yang dihasilkan dari riset akuntansi ternyata tidak dapat digunakan dalam praktik sehari-hari. Konsekwensinya, munculnya pemikiran baru dalam bentuk tawaran pemahaman akuntansi deskriptif dalam praktik nyata. Alasan kedua munculnya pemikiran pemahaman riset akuntansi empiris yang memasukkan keperilakukan dan ekonomi dan politik. Alasan ketiga, semain terbukannya pola pikir ilmuan dibidang akuntansi, serta kesadaran open ended terjhadap ilmu sosial lain. Ladsan metodologis (epistimologis) tentang cara pandang memperoleh kebenaran dan pengembangan ilmu pengetahauan sebagaimana tersebut diatas juga meberi kontribusi besar terhadap pergeseran paradigma akuntansi kearah eksistensi akuntansi keperilakukan.
Perkembangan instrumen keuangan terutama di pasar modal terutama munculnya efficient market hypothesis dan agency theory, telah menciptakan wajah baru dalam perkembangan ilmu akuntansi lewat perkembangan riset akuntansi. Beberapa pemikiran akuntansi dari Rochester dan Chicago mengembangkan apa yang disebut teori akuntansi positif (positive accounting theory) yang menjelaskan mengapa akuntansi itu ada, apa itu akuntansi, mengapa akuntansi melakukan apa yang mereka lakukan, dan apa pengaruh dari fenomena itu terhadap manusia dan pengguna sumber daya (Ghazali & Chariri, 2001).
Untuk menjawab berbagai persoalan tersebut, serta untuk meningkatkan cakupan luas pertkembangan akuntansi, ilmuan akuntansi banyak mengembangkan ilmu akuntansi dengan memasukkan dimensi keperilakukan dalam desain sistem akuntansi. Riset akuntansi keperilakuan dapat dikatakan sebagai bidang baru yang merupakan perkembangan akuntansi dalam bentuk upaya sistemik melibatkan keperilakukan individu, kelompok, organisasi bisnis, organisasi non bisnis dan teknologi informasi.
Akuntansi keperilakukan merupakan bagian dari ilmu akuntansi nyang perkembangannya semakin meningkat dalam 25 tahun belakangan ini. Hal itu, ditandai dengan lahirnya sejumlah jurnal dan artikel yang berkenaan dengan keperoilakukan seperti Behaviour Research in Accounting.
Riset keperilakukan dapat ditelusuri sejak tahun 1960-an atau lebih awal yaitu sejak doble entry ditemukan oleh Lucas Pacioli (1949). Karya monumental yang lebih riil riset tentang akuntansi keperilakukan adalah Controllership Foundation of American (1951) yang menyelidiki dampak anggaran terhadap manusia dan studi Hofsted & Kinerd (1970), yang mengankat topik perilaku akuntan dan nonakuntan oleh fungsi akuntansi dan non akuntansi.
Hadayati (2002) menjelaskan bahwa sebagai bagian dari ilmu keperilakukan (behavioral science), teori-teori keperilakukan dikembangkan dari riset empiris atas perilaku manusia dalam organisasi. Dengan demikian perkembangan dan pergeseran akuntansi keperilakukan tak perlu diragukan lagi, mengingat produk akuntansi dan proses akuntansi sendiri melibat individu, kelompok, masyarakat dan negara (stakeholders), sehingga perkembangannya harus melibatkan keperikakukan lingkungan yang mengitarinya.
Paling tidak, riset akutansi keperilakukan meliputi demargasi, antara lain: (1) pembuatan keputusan dan pertimbangan oleh akuntan dan auditor; (3) pengaruh dan fungsi akuntanmsi seperti partisipasi dan penyusunan anggran, karakteristik sistem informasi, dan dan fungsi audit terhadap perilaku baik karyawan, manajer, investor, maupun wajib pajak; (3) pengaruh hasil dari fungsi tersebut, seperti informasi akuntansi fdan penggunaan pertimbangan dalam pembuatan keputiusan (Ikhsan dan Ishak, 2005); dan (4) perkembangan social responbility perusahaan terhadap stakeholders.

Nor Hadi
Program Studi Ekonomi Islam STAIN Kudus
TEKNIK SAMPLING

Sampel adalah sebagian dari populasi. Artinya tidak akan ada sampel jika tidak ada populasi. Populasi adalah keseluruhan elemen atau unsur yang akan kita teliti. Penelitian yang dilakukan atas seluruh elemen dinamakan sensus. Idealnya, agar hasil penelitiannya lebih bisa dipercaya, seorang peneliti harus melakukan sensus. Namun karena sesuatu hal peneliti bisa tidak meneliti keseluruhan elemen tadi, maka yang bisa dilakukannya adalah meneliti sebagian dari keseluruhan elemen atau unsur tadi.
Berbagai alasan yang masuk akal mengapa peneliti tidak melakukan sensus antara lain adalah,(a) populasi demikian banyaknya sehingga dalam prakteknya tidak mungkin seluruh elemen diteliti; (b) keterbatasan waktu penelitian, biaya, dan sumber daya manusia, membuat peneliti harus telah puas jika meneliti sebagian dari elemen penelitian; (c) bahkan kadang, penelitian yang dilakukan terhadap sampel bisa lebih reliabel daripada terhadap populasi – misalnya, karena elemen sedemikian banyaknya maka akan memunculkan kelelahan fisik dan mental para pencacahnya sehingga banyak terjadi kekeliruan. (Uma Sekaran, 1992); (d) demikian pula jika elemen populasi homogen, penelitian terhadap seluruh elemen dalam populasi menjadi tidak masuk akal, misalnya untuk meneliti kualitas jeruk dari satu pohon jeruk
Agar hasil penelitian yang dilakukan terhadap sampel masih tetap bisa dipercaya dalam artian masih bisa mewakili karakteristik populasi, maka cara penarikan sampelnya harus dilakukan secara seksama. Cara pemilihan sampel dikenal dengan nama teknik sampling atau teknik pengambilan sampel .
Populasi atau universe adalah sekelompok orang, kejadian, atau benda, yang dijadikan obyek penelitian. Jika yang ingin diteliti adalah sikap konsumen terhadap satu produk tertentu, maka populasinya adalah seluruh konsumen produk tersebut. Jika yang diteliti adalah laporan keuangan perusahaan “X”, maka populasinya adalah keseluruhan laporan keuangan perusahaan “X” tersebut, Jika yang diteliti adalah motivasi pegawai di departemen “A” maka populasinya adalah seluruh pegawai di departemen “A”. Jika yang diteliti adalah efektivitas gugus kendali mutu (GKM) organisasi “Y”, maka populasinya adalah seluruh GKM organisasi “Y”

Elemen/unsur adalah setiap satuan populasi. Kalau dalam populasi terdapat 30 laporan keuangan, maka setiap laporan keuangan tersebut adalah unsur atau elemen penelitian. Artinya dalam populasi tersebut terdapat 30 elemen penelitian. Jika populasinya adalah pabrik sepatu, dan jumlah pabrik sepatu 500, maka dalam populasi tersebut terdapat 500 elemen penelitian.

Syarat sampel yang baik
Secara umum, sampel yang baik adalah yang dapat mewakili sebanyak mungkin karakteristik populasi. Dalam bahasa pengukuran, artinya sampel harus valid, yaitu bisa mengukur sesuatu yang seharusnya diukur. Kalau yang ingin diukur adalah masyarakat Sunda sedangkan yang dijadikan sampel adalah hanya orang Banten saja, maka sampel tersebut tidak valid, karena tidak mengukur sesuatu yang seharusnya diukur (orang Sunda). Sampel yang valid ditentukan oleh dua pertimbangan.
Pertama : Akurasi atau ketepatan , yaitu tingkat ketidakadaan “bias” (kekeliruan) dalam sample. Dengan kata lain makin sedikit tingkat kekeliruan yang ada dalam sampel, makin akurat sampel tersebut. Tolok ukur adanya “bias” atau kekeliruan adalah populasi.
Cooper dan Emory (1995) menyebutkan bahwa “there is no systematic variance” yang maksudnya adalah tidak ada keragaman pengukuran yang disebabkan karena pengaruh yang diketahui atau tidak diketahui, yang menyebabkan skor cenderung mengarah pada satu titik tertentu. Sebagai contoh, jika ingin mengetahui rata-rata luas tanah suatu perumahan, lalu yang dijadikan sampel adalah rumah yang terletak di setiap sudut jalan, maka hasil atau skor yang diperoleh akan bias. Kekeliruan semacam ini bisa terjadi pada sampel yang diambil secara sistematis
Contoh systematic variance yang banyak ditulis dalam buku-buku metode penelitian adalah jajak-pendapat (polling) yang dilakukan oleh Literary Digest (sebuah majalah yang terbit di Amerika tahun 1920-an) pada tahun 1936. (Copper & Emory, 1995, Nan lin, 1976). Mulai tahun 1920, 1924, 1928, dan tahun 1932 majalah ini berhasil memprediksi siapa yang akan jadi presiden dari calon-calon presiden yang ada. Sampel diambil berdasarkan petunjuk dalam buku telepon dan dari daftar pemilik mobil. Namun pada tahun 1936 prediksinya salah. Berdasarkan jajak pendapat, di antara dua calon presiden (Alfred M. Landon dan Franklin D. Roosevelt), yang akan menang adalah Landon, namun meleset karena ternyata Roosevelt yang terpilih menjadi presiden Amerika.
Setelah diperiksa secara seksama, ternyata Literary Digest membuat kesalahan dalam menentukan sampel penelitiannya . Karena semua sampel yang diambil adalah mereka yang memiliki telepon dan mobil, akibatnya pemilih yang sebagian besar tidak memiliki telepon dan mobil (kelas rendah) tidak terwakili, padahal Rosevelt lebih banyak dipilih oleh masyarakat kelas rendah tersebut. Dari kejadian tersebut ada dua pelajaran yang diperoleh : (1), keakuratan prediktibilitas dari suatu sampel tidak selalu bisa dijamin dengan banyaknya jumlah sampel; (2) agar sampel dapat memprediksi dengan baik populasi, sampel harus mempunyai selengkap mungkin karakteristik populasi (Nan Lin, 1976).
Kedua : Presisi. Kriteria kedua sampel yang baik adalah memiliki tingkat presisi estimasi. Presisi mengacu pada persoalan sedekat mana estimasi kita dengan karakteristik populasi. Contoh : Dari 300 pegawai produksi, diambil sampel 50 orang. Setelah diukur ternyata rata-rata perhari, setiap orang menghasilkan 50 potong produk “X”. Namun berdasarkan laporan harian, pegawai bisa menghasilkan produk “X” per harinya rata-rata 58 unit. Artinya di antara laporan harian yang dihitung berdasarkan populasi dengan hasil penelitian yang dihasilkan dari sampel, terdapat perbedaan 8 unit. Makin kecil tingkat perbedaan di antara rata-rata populasi dengan rata-rata sampel, maka makin tinggi tingkat presisi sampel tersebut.
Belum pernah ada sampel yang bisa mewakili karakteristik populasi sepenuhnya. Oleh karena itu dalam setiap penarikan sampel senantiasa melekat keasalahan-kesalahan, yang dikenal dengan nama “sampling error” Presisi diukur oleh simpangan baku (standard error). Makin kecil perbedaan di antara simpangan baku yang diperoleh dari sampel (S) dengan simpangan baku dari populasi (, makin tinggi pula tingkat presisinya. Walau tidak selamanya, tingkat presisi mungkin bisa meningkat dengan cara menambahkan jumlah sampel, karena kesalahan mungkin bisa berkurang kalau jumlah sampelnya ditambah ( Kerlinger, 1973 ). Dengan contoh di atas tadi, mungkin saja perbedaan rata-rata di antara populasi dengan sampel bisa lebih sedikit, jika sampel yang ditariknya ditambah. Katakanlah dari 50 menjadi 75.

Ukuran sampel
Ukuran sampel atau jumlah sampel yang diambil menjadi persoalan yang penting manakala jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian yang menggunakan analisis kuantitatif. Pada penelitian yang menggunakan analisis kualitatif, ukuran sampel bukan menjadi nomor satu, karena yang dipentingkan alah kekayaan informasi. Walau jumlahnya sedikit tetapi jika kaya akan informasi, maka sampelnya lebih bermanfaat.
Dikaitkan dengan besarnya sampel, selain tingkat kesalahan, ada lagi beberapa faktor lain yang perlu memperoleh pertimbangan yaitu, (1) derajat keseragaman, (2) rencana analisis, (3) biaya, waktu, dan tenaga yang tersedia . (Singarimbun dan Effendy, 1989). Makin tidak seragam sifat atau karakter setiap elemen populasi, makin banyak sampel yang harus diambil. Jika rencana analisisnya mendetail atau rinci maka jumlah sampelnya pun harus banyak. Misalnya di samping ingin mengetahui sikap konsumen terhadap kebijakan perusahaan, peneliti juga bermaksud mengetahui hubungan antara sikap dengan tingkat pendidikan. Agar tujuan ini dapat tercapai maka sampelnya harus terdiri atas berbagai jenjang pendidikan SD, SLTP. SMU, dan seterusnya.. Makin sedikit waktu, biaya , dan tenaga yang dimiliki peneliti, makin sedikit pula sampel yang bisa diperoleh. Perlu dipahami bahwa apapun alasannya, penelitian haruslah dapat dikelola dengan baik (manageable).
Misalnya, jumlah bank yang dijadikan populasi penelitian ada 400 buah. Pertanyaannya adalah, berapa bank yang harus diambil menjadi sampel agar hasilnya mewakili populasi?. 30?, 50? 100? 250?. Jawabnya tidak mudah. Ada yang mengatakan, jika ukuran populasinya di atas 1000, sampel sekitar 10 % sudah cukup, tetapi jika ukuran populasinya sekitar 100, sampelnya paling sedikit 30%, dan kalau ukuran populasinya 30, maka sampelnya harus 100%.
Ada pula yang menuliskan, untuk penelitian deskriptif, sampelnya 10% dari populasi, penelitian korelasional, paling sedikit 30 elemen populasi, penelitian perbandingan kausal, 30 elemen per kelompok, dan untuk penelitian eksperimen 15 elemen per kelompok (Gay dan Diehl, 1992).
Roscoe (1975) dalam Uma Sekaran (1992) memberikan pedoman penentuan jumlah sampel sebagai berikut :
1. Sebaiknya ukuran sampel di antara 30 s/d 500 elemen
2. Jika sampel dipecah lagi ke dalam subsampel (laki/perempuan, SD?SLTP/SMU, dsb), jumlah minimum subsampel harus 30
3. Pada penelitian multivariate (termasuk analisis regresi multivariate) ukuran sampel harus beberapa kali lebih besar (10 kali) dari jumlah variable yang akan dianalisis.
4. Untuk penelitian eksperimen yang sederhana, dengan pengendalian yang ketat, ukuran sampel bisa antara 10 s/d 20 elemen.
Krejcie dan Morgan (1970) dalam Uma Sekaran (1992) membuat daftar yang bisa dipakai untuk menentukan jumlah sampel sebagai berikut (Lihat Tabel)

Populasi (N) Sampel (n) Populasi (N) Sampel (n) Populasi (N) Sampel (n)
10 10 220 140 1200 291
15 14 230 144 1300 297
20 19 240 148 1400 302
25 24 250 152 1500 306
30 28 260 155 1600 310
35 32 270 159 1700 313
40 36 280 162 1800 317
45 40 290 165 1900 320
50 44 300 169 2000 322
55 48 320 175 2200 327
60 52 340 181 2400 331
65 56 360 186 2600 335
70 59 380 191 2800 338
75 63 400 196 3000 341
80 66 420 201 3500 346
85 70 440 205 4000 351
90 73 460 210 4500 354
95 76 480 214 5000 357
100 80 500 217 6000 361
110 86 550 226 7000 364
120 92 600 234 8000 367
130 97 650 242 9000 368
140 103 700 248 10000 370
150 108 750 254 15000 375
160 113 800 260 20000 377
170 118 850 265 30000 379
180 123 900 269 40000 380
190 127 950 274 50000 381
200 132 1000 278 75000 382
210 136 1100 285 1000000 384


Sebagai informasi lainnya, Champion (1981) mengatakan bahwa sebagian besar uji statistik selalu menyertakan rekomendasi ukuran sampel. Dengan kata lain, uji-uji statistik yang ada akan sangat efektif jika diterapkan pada sampel yang jumlahnya 30 s/d 60 atau dari 120 s/d 250. Bahkan jika sampelnya di atas 500, tidak direkomendasikan untuk menerapkan uji statistik. (Penjelasan tentang ini dapat dibaca di Bab 7 dan 8 buku Basic Statistics for Social Research, Second Edition)

Teknik-teknik pengambilan sampel
Secara umum, ada dua jenis teknik pengambilan sampel yaitu, sampel acak atau random sampling / probability sampling, dan sampel tidak acak atau nonrandom samping/nonprobability sampling. Yang dimaksud dengan random sampling adalah cara pengambilan sampel yang memberikan kesempatan yang sama untuk diambil kepada setiap elemen populasi. Artinya jika elemen populasinya ada 100 dan yang akan dijadikan sampel adalah 25, maka setiap elemen tersebut mempunyai kemungkinan 25/100 untuk bisa dipilih menjadi sampel. Sedangkan yang dimaksud dengan nonrandom sampling atau nonprobability sampling, setiap elemen populasi tidak mempunyai kemungkinan yang sama untuk dijadikan sampel. Lima elemen populasi dipilih sebagai sampel karena letaknya dekat dengan rumah peneliti, sedangkan yang lainnya, karena jauh, tidak dipilih; artinya kemungkinannya 0 (nol).
Dua jenis teknik pengambilan sampel di atas mempunyai tujuan yang berbeda. Jika peneliti ingin hasil penelitiannya bisa dijadikan ukuran untuk mengestimasikan populasi, atau istilahnya adalah melakukan generalisasi maka seharusnya sampel representatif dan diambil secara acak. Namun jika peneliti tidak mempunyai kemauan melakukan generalisasi hasil penelitian maka sampel bisa diambil secara tidak acak. Sampel tidak acak biasanya juga diambil jika peneliti tidak mempunyai data pasti tentang ukuran populasi dan informasi lengkap tentang setiap elemen populasi. Contohnya, jika yang diteliti populasinya adalah konsumen teh botol, kemungkinan besar peneliti tidak mengetahui dengan pasti berapa jumlah konsumennya, dan juga karakteristik konsumen. Karena dia tidak mengetahui ukuran pupulasi yang tepat, bisakah dia mengatakan bahwa 200 konsumen sebagai sampel dikatakan “representatif”?. Kemudian, bisakah peneliti memilih sampel secara acak, jika tidak ada informasi yang cukup lengkap tentang diri konsumen?. Dalam situasi yang demikian, pengambilan sampel dengan cara acak tidak dimungkinkan, maka tidak ada pilihan lain kecuali sampel diambil dengan cara tidak acak atau nonprobability sampling, namun dengan konsekuensi hasil penelitiannya tersebut tidak bisa digeneralisasikan. Jika ternyata dari 200 konsumen teh botol tadi merasa kurang puas, maka peneliti tidak bisa mengatakan bahwa sebagian besar konsumen teh botol merasa kurang puas terhadap the botol.
Di setiap jenis teknik pemilihan tersebut, terdapat beberapa teknik yang lebih spesifik lagi. Pada sampel acak (random sampling) dikenal dengan istilah simple random sampling, stratified random sampling, cluster sampling, systematic sampling, dan area sampling. Pada nonprobability sampling dikenal beberapa teknik, antara lain adalah convenience sampling, purposive sampling, quota sampling, snowball sampling

Probability/Random Sampling.
Syarat pertama yang harus dilakukan untuk mengambil sampel secara acak adalah memperoleh atau membuat kerangka sampel atau dikenal dengan nama “sampling frame”. Yang dimaksud dengan kerangka sampling adalah daftar yang berisikan setiap elemen populasi yang bisa diambil sebagai sampel. Elemen populasi bisa berupa data tentang orang/binatang, tentang kejadian, tentang tempat, atau juga tentang benda. Jika populasi penelitian adalah mahasiswa perguruan tinggi “A”, maka peneliti harus bisa memiliki daftar semua mahasiswa yang terdaftar di perguruan tinggi “A “ tersebut selengkap mungkin. Nama, NRP, jenis kelamin, alamat, usia, dan informasi lain yang berguna bagi penelitiannya.. Dari daftar ini, peneliti akan bisa secara pasti mengetahui jumlah populasinya (N). Jika populasinya adalah rumah tangga dalam sebuah kota, maka peneliti harus mempunyai daftar seluruh rumah tangga kota tersebut. Jika populasinya adalah wilayah Jawa Barat, maka penelti harus mepunyai peta wilayah Jawa Barat secara lengkap. Kabupaten, Kecamatan, Desa, Kampung. Lalu setiap tempat tersebut diberi kode (angka atau simbol) yang berbeda satu sama lainnya.
Di samping sampling frame, peneliti juga harus mempunyai alat yang bisa dijadikan penentu sampel. Dari sekian elemen populasi, elemen mana saja yang bisa dipilih menjadi sampel?. Alat yang umumnya digunakan adalah Tabel Angka Random, kalkulator, atau undian. Pemilihan sampel secara acak bisa dilakukan melalui sistem undian jika elemen populasinya tidak begitu banyak. Tetapi jika sudah ratusan, cara undian bisa mengganggu konsep “acak” atau “random” itu sendiri.

1. Simple Random Sampling atau Sampel Acak Sederhana
Cara atau teknik ini dapat dilakukan jika analisis penelitiannya cenderung deskriptif dan bersifat umum. Perbedaan karakter yang mungkin ada pada setiap unsur atau elemen populasi tidak merupakan hal yang penting bagi rencana analisisnya. Misalnya, dalam populasi ada wanita dan pria, atau ada yang kaya dan yang miskin, ada manajer dan bukan manajer, dan perbedaan-perbedaan lainnya. Selama perbedaan gender, status kemakmuran, dan kedudukan dalam organisasi, serta perbedaan-perbedaan lain tersebut bukan merupakan sesuatu hal yang penting dan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap hasil penelitian, maka peneliti dapat mengambil sampel secara acak sederhana. Dengan demikian setiap unsur populasi harus mempunyai kesempatan sama untuk bisa dipilih menjadi sampel. Prosedurnya :
1. Susun “sampling frame”
2. Tetapkan jumlah sampel yang akan diambil
3. Tentukan alat pemilihan sampel
4. Pilih sampel sampai dengan jumlah terpenuhi

2. Stratified Random Sampling atau Sampel Acak Distratifikasikan
Karena unsur populasi berkarakteristik heterogen, dan heterogenitas tersebut mempunyai arti yang signifikan pada pencapaian tujuan penelitian, maka peneliti dapat mengambil sampel dengan cara ini. Misalnya, seorang peneliti ingin mengetahui sikap manajer terhadap satu kebijakan perusahaan. Dia menduga bahwa manajer tingkat atas cenderung positif sikapnya terhadap kebijakan perusahaan tadi. Agar dapat menguji dugaannya tersebut maka sampelnya harus terdiri atas paling tidak para manajer tingkat atas, menengah, dan bawah. Dengan teknik pemilihan sampel secara random distratifikasikan, maka dia akan memperoleh manajer di ketiga tingkatan tersebut, yaitu stratum manajer atas, manajer menengah dan manajer bawah. Dari setiap stratum tersebut dipilih sampel secara acak. Prosedurnya :
1. Siapkan “sampling frame”
2. Bagi sampling frame tersebut berdasarkan strata yang dikehendaki
3. Tentukan jumlah sampel dalam setiap stratum
4. Pilih sampel dari setiap stratum secara acak.
Pada saat menentukan jumlah sampel dalam setiap stratum, peneliti dapat menentukan secara (a) proposional, (b) tidak proposional. Yang dimaksud dengan proposional adalah jumlah sampel dalam setiap stratum sebanding dengan jumlah unsur populasi dalam stratum tersebut. Misalnya, untuk stratum manajer tingkat atas (I) terdapat 15 manajer, tingkat menengah ada 45 manajer (II), dan manajer tingkat bawah (III) ada 100 manajer. Artinya jumlah seluruh manajer adalah 160. Kalau jumlah sampel yang akan diambil seluruhnya 100 manajer, maka untuk stratum I diambil (15:160)x100 = 9 manajer, stratum II = 28 manajer, dan stratum 3 = 63 manajer.
Jumlah dalam setiap stratum tidak proposional. Hal ini terjadi jika jumlah unsur atau elemen di salah satu atau beberapa stratum sangat sedikit. Misalnya saja, kalau dalam stratum manajer kelas atas (I) hanya ada 4 manajer, maka peneliti bisa mengambil semua manajer dalam stratum tersebut , dan untuk manajer tingkat menengah (II) ditambah 5, sedangkan manajer tingat bawah (III), tetap 63 orang.

3. Cluster Sampling atau Sampel Gugus
Teknik ini biasa juga diterjemahkan dengan cara pengambilan sampel berdasarkan gugus. Berbeda dengan teknik pengambilan sampel acak yang distratifikasikan, di mana setiap unsur dalam satu stratum memiliki karakteristik yang homogen (stratum A : laki-laki semua, stratum B : perempuan semua), maka dalam sampel gugus, setiap gugus boleh mengandung unsur yang karakteristiknya berbeda-beda atau heterogen. Misalnya, dalam satu organisasi terdapat 100 departemen. Dalam setiap departemen terdapat banyak pegawai dengan karakteristik berbeda pula. Beda jenis kelaminnya, beda tingkat pendidikannya, beda tingkat pendapatnya, beda tingat manajerialnnya, dan perbedaan-perbedaan lainnya. Jika peneliti bermaksud mengetahui tingkat penerimaan para pegawai terhadap suatu strategi yang segera diterapkan perusahaan, maka peneliti dapat menggunakan cluster sampling untuk mencegah terpilihnya sampel hanya dari satu atau dua departemen saja. Prosedur :
1. Susun sampling frame berdasarkan gugus – Dalam kasus di atas, elemennya ada 100 departemen.
2. Tentukan berapa gugus yang akan diambil sebagai sampel
3. Pilih gugus sebagai sampel dengan cara acak
4. Teliti setiap pegawai yang ada dalam gugus sample


4. Systematic Sampling atau Sampel Sistematis
Jika peneliti dihadapkan pada ukuran populasi yang banyak dan tidak memiliki alat pengambil data secara random, cara pengambilan sampel sistematis dapat digunakan. Cara ini menuntut kepada peneliti untuk memilih unsur populasi secara sistematis, yaitu unsur populasi yang bisa dijadikan sampel adalah yang “keberapa”. Misalnya, setiap unsur populasi yang keenam, yang bisa dijadikan sampel. Soal “keberapa”-nya satu unsur populasi bisa dijadikan sampel tergantung pada ukuran populasi dan ukuran sampel. Misalnya, dalam satu populasi terdapat 5000 rumah. Sampel yang akan diambil adalah 250 rumah dengan demikian interval di antara sampel kesatu, kedua, dan seterusnya adalah 25. Prosedurnya :
5. Susun sampling frame
6. Tetapkan jumlah sampel yang ingin diambil
7. Tentukan K (kelas interval)
8. Tentukan angka atau nomor awal di antara kelas interval tersebut secara acak atau random – biasanya melalui cara undian saja.
9. Mulailah mengambil sampel dimulai dari angka atau nomor awal yang terpilih.
10. Pilihlah sebagai sampel angka atau nomor interval berikutnya

4. Area Sampling atau Sampel Wilayah
Teknik ini dipakai ketika peneliti dihadapkan pada situasi bahwa populasi penelitiannya tersebar di berbagai wilayah. Misalnya, seorang marketing manajer sebuah stasiun TV ingin mengetahui tingkat penerimaan masyarakat Jawa Barat atas sebuah mata tayangan, teknik pengambilan sampel dengan area sampling sangat tepat. Prosedurnya :
1. Susun sampling frame yang menggambarkan peta wilayah (Jawa Barat) – Kabupaten, Kotamadya, Kecamatan, Desa.
2. Tentukan wilayah yang akan dijadikan sampel (Kabupaten ?, Kotamadya?, Kecamatan?, Desa?)
3. Tentukan berapa wilayah yang akan dijadikan sampel penelitiannya.
4. Pilih beberapa wilayah untuk dijadikan sampel dengan cara acak atau random.
5. Kalau ternyata masih terlampau banyak responden yang harus diambil datanya, bagi lagi wilayah yang terpilih ke dalam sub wilayah.

Nonprobability/Nonrandom Sampling atau Sampel Tidak Acak
Seperti telah diuraikan sebelumnya, jenis sampel ini tidak dipilih secara acak. Tidak semua unsur atau elemen populasi mempunyai kesempatan sama untuk bisa dipilih menjadi sampel. Unsur populasi yang terpilih menjadi sampel bisa disebabkan karena kebetulan atau karena faktor lain yang sebelumnya sudah direncanakan oleh peneliti.
1. Convenience Sampling atau sampel yang dipilih dengan pertimbangan kemudahan.
Dalam memilih sampel, peneliti tidak mempunyai pertimbangan lain kecuali berdasarkan kemudahan saja. Seseorang diambil sebagai sampel karena kebetulan orang tadi ada di situ atau kebetulan dia mengenal orang tersebut. Oleh karena itu ada beberapa penulis menggunakan istilah accidental sampling – tidak disengaja – atau juga captive sample (man-on-the-street) Jenis sampel ini sangat baik jika dimanfaatkan untuk penelitian penjajagan, yang kemudian diikuti oleh penelitian lanjutan yang sampelnya diambil secara acak (random). Beberapa kasus penelitian yang menggunakan jenis sampel ini, hasilnya ternyata kurang obyektif.

2. Purposive Sampling
Sesuai dengan namanya, sampel diambil dengan maksud atau tujuan tertentu. Seseorang atau sesuatu diambil sebagai sampel karena peneliti menganggap bahwa seseorang atau sesuatu tersebut memiliki informasi yang diperlukan bagi penelitiannya. Dua jenis sampel ini dikenal dengan nama judgement dan quota sampling.
Judgment Sampling
Sampel dipilih berdasarkan penilaian peneliti bahwa dia adalah pihak yang paling baik untuk dijadikan sampel penelitiannya.. Misalnya untuk memperoleh data tentang bagaimana satu proses produksi direncanakan oleh suatu perusahaan, maka manajer produksi merupakan orang yang terbaik untuk bisa memberikan informasi. Jadi, judment sampling umumnya memilih sesuatu atau seseorang menjadi sampel karena mereka mempunyai “information rich”.
Dalam program pengembangan produk (product development), biasanya yang dijadikan sampel adalah karyawannya sendiri, dengan pertimbangan bahwa kalau karyawan sendiri tidak puas terhadap produk baru yang akan dipasarkan, maka jangan terlalu berharap pasar akan menerima produk itu dengan baik. (Cooper dan Emory, 1992).
Quota Sampling
Teknik sampel ini adalah bentuk dari sampel distratifikasikan secara proposional, namun tidak dipilih secara acak melainkan secara kebetulan saja.
Misalnya, di sebuah kantor terdapat pegawai laki-laki 60% dan perempuan 40% . Jika seorang peneliti ingin mewawancari 30 orang pegawai dari kedua jenis kelamin tadi maka dia harus mengambil sampel pegawai laki-laki sebanyak 18 orang sedangkan pegawai perempuan 12 orang. Sekali lagi, teknik pengambilan ketiga puluh sampel tadi tidak dilakukan secara acak, melainkan secara kebetulan saja.

3. Snowball Sampling – Sampel Bola Salju
Cara ini banyak dipakai ketika peneliti tidak banyak tahu tentang populasi penelitiannya. Dia hanya tahu satu atau dua orang yang berdasarkan penilaiannya bisa dijadikan sampel. Karena peneliti menginginkan lebih banyak lagi, lalu dia minta kepada sampel pertama untuk menunjukan orang lain yang kira-kira bisa dijadikan sampel. Misalnya, seorang peneliti ingin mengetahui pandangan kaum lesbian terhadap lembaga perkawinan. Peneliti cukup mencari satu orang wanita lesbian dan kemudian melakukan wawancara. Setelah selesai, peneliti tadi minta kepada wanita lesbian tersebut untuk bisa mewawancarai teman lesbian lainnya. Setelah jumlah wanita lesbian yang berhasil diwawancarainya dirasa cukup, peneliti bisa mengentikan pencarian wanita lesbian lainnya. . Hal ini bisa juga dilakukan pada pencandu narkotik, para gay, atau kelompok-kelompok sosial lain yang eksklusif (tertutup)
.
( Hasan Mustafa /2000 )